Dipublikasikan pada Minggu, 11 Desember 2011 | 23:13
Mungkin karena tema yang dinilai menarik, peserta diskusi jadi
bertambah. Selain yang sudah rutin hadir, juga ada teman yang baru
diskusi kali ini menyempatkan diri ikut. Ada Hendra, Burhan, juga ada
beberapa akhwat dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor yang sengaja ikut
pada 7 Desember 2011 dalam Diskusi Aktual yang digelar setiap pekan di
Rumah Media. Saya sendiri, membawa serta istri dan keempat anak saya
untuk ikut dalam acara ini. Bukan agar diskusi terlihat semakin banyak
pesertanya, tetapi saya ingin juga agar anak-anak saya yang di kelas 2
dan kelas 5 SD bisa tahu perkembangan peristiwa yang didiskusikan oleh
orang-orang dewasa di sekitarnya. Semoga bisa nyambung atau minimal
mereka akan mendengar topik yang sedang diobrolkan.
Diskusi yang dimulai tepat pada 16.19 WIB ini memang terbilang telat.
Seharusnya sudah digelar sejak pukul 16 waktu setempat. Tetapi ya
sudahlah, meski molor sedikit dari waktu yang sudah ditentukan, diskusi
tetap menarik. Apalagi sambil minum kopi hangat di sore hari yang cerah
waktu itu. Adalah Pak Hendra yang sengaja membawakan puluhan bungkus
kopi untuk menjadi teman santai diskusi pekanan 7 Desember 2011 yang
membahas: “Mesir dan Masa Depan Islam Pasca Tumbangnya Rezim Diktator”.
Anak-anak yang hadir di acara diskusi ini memang cukup banyak, selain
keempat anak saya juga seperti biasa Ustad Umar membawa serta
anak-anaknya yang jumlahnya empat juga. Walhasil jumlah peserta diskusi
dari kalangan dewasa tak jauh berbeda dengan jumlah para penggembira
diskusi. Meski demikian, alhamdulillah diskusi tetap menarik. Bahkan ada
sesi pertanyaan yang diajukan kepada peserta anak-anak agar mereka mau
bertanya, dan mungkin berusaha menjawab pertanyaan yang diajukan
moderator tetap acara diskusi, yakni Ustadz Umar Abdullah. Seru?
Pastinya! Sebab, bagi para peserta diskusi yang sudah dewasa, selain ada
hiburan juga bisa membantu peserta diskusi dari kalangan anak-anak agar
tergali potensinya dan bisa mengukur seberapa jauh informasi yang
didiskusikan bisa terserap anak-anak. Itu sebabnya, setelah diskusi
selesai, saya bertanya kepada kedua anak lelaki saya yang kelas 2 dan
kelas 5 SD, “Bagaimana kesan kalian dalam acara diskusi ini?” Mereka
sepakat menjawab “Enak, bisa dapat ilmu”. Allhamdulillah, semoga juga
pendapatnya sama dengan para peserta diskusi lainnya.
Sebelum memulai diskusi yang biasanya didahului dengan pertanyaan
kepada para peserta, kali ini Ustadz Umar Abdullah meminta Farid, santri
Pesantren Media untuk memutar lagu “Tahrir Mesir” yang liriknya ditulis
beliau sendiri. Sementara musik dan lagu digarap Deddy Arif Fasihin,
sampai laporan ini ditulis pada ahad, 11 Desember 2011 malam hari, lagu
tersebut sudah diunduh lebih dari 1380 kali. Jika Anda ingin membaca
lirik dan mendownload lagunya, silakan mengunjungi link-nya di sini: http://mediaislamnet.com/2011/02/mp3-tahrir-mesir/ dimuat pada 28 Februari 2011 silam di website MediaIslamNet.
Sayangnya, karena lagu tersebut diputar di laptop milik Farid,
suaranya kurang “menggelegar”. Padahal lirik lagunya keren dan aransmen
musiknya cukup unik. Lagu ini sepertinya enak didengar rame-rame seperti
misalnya dinyanyikan di acara konser bulanan Sanggar Kreativitas Anak
dan Remaja yang digarap Pesantren Media dan MediaIslamNet. Dijamin seru!
Setelah mendengarkan bersama lagu “Tahrir Mesir”, Ustadz Umar
Abdullah menjelaskan secara sekilas tentang sejarah Mesir seperti dalam
lirik lagu tersebut:
Mesir bumi Afrika tempat silih berganti peradaban nista dan mulia
Kenistaan Fir’aun, Alexander, dan ratu pelacur Cleopatra
Kemuliaan Hajar, Yusuf, Musa, dan Maria al-Qibthiyah
Tahun 21 Hijriyah Islam bebaskan Mesir dari Romawi penindas
Di masa Khalifah Umar dipimpin panglima Amr bin al-Ash
Mesir yang subur pun kaya, mulia, dan punya universitas
Munculkan Shalahuddin, hancurkan Pasukan Salib, al-Quds pun bebas
Tujuh belas sembilan delapan Masehi Napoleon Bonaparte pimpin Prancis serbu Mesir
Sebarkan nasionalisme dorong Mesir berontak Khilafah Utsmani
..Usai Inggris kuasai Mesir, ..Amerika sebarkan liberalisme dan demokrasi
Tanam agen ’tuk tekan rakyat, kayakan pejabat, dan jaga Israel laknat
Di Tahrir Square rakyat Mesir berkumpul
Turunkan Husni al-Laa Mubarak si Tukang Ngibul
Tahrir Mesir! Bebaskan dari Diktator buah Demokrasi
Tahrir Mesir! Muliakan Mesir dengan Syari’at Ilahi
Setelah peserta disuguhi lagu dan penjelasan yang ada di lirik lagu
tersebut, Ustadz Umar Abdullah mulai mempersilakan kepada para peserta
untuk mengajukan pertanyaan. Seperti biasanya, peserta anak-anak paling
antusias untuk menjadi penggembira, terutama Abdullah dan Taqiyuddin.
Walhasil diskusi jadi sedikit cair. Lumayanlah untuk melepas ketegangan
pembahasan yang cukup berat.
Pertanyaan pertama diajukan Fatimah, siswa kelas 6 SD dan juga santri
Pesantren Media, “Mengapa sih bahas kasus Mesir, padahal negeri itu
jauh dari Indonesia?” katanya dengan sedikit polos. Tak mengapa, memang
itulah pertanyaan khas anak-anak. Bedanya, ia mulai peduli.
Disusul dengan pertanyaan dari Novia, santri Pesantren Media berusia
18 tahun, “Kenapa orang liberal menolak penerapan syariat Islam?
Memangnya yang dipahami orang liberal tentang syariat Islam itu apa
sih?” Novia bertanya seperti ini mungkin karena menangkap pernyataan
Ustadz Umar Abdullah pada saat menjelaskan sekilas sejarah Mesir,
terutama saat unjuk rasa pada awal tahun 2011 lalu yang dimotori oleh
kaum liberal dan pemuda-pemuda Mesir dan berhasil mengumpulkan massa
hingga 2 juta orang di Tahrir Square. Namun, orang liberal jualah yang
melancarkan protes dan keberatan saat Partai Kebebasan dan Keadilan yang
merupakan partai Islam yang agak moderat (karena tidak akan menerapkan
syariat Islam dalam konstitusi Mesir jika berkuasa) yang meraih suara
cukup banyak di Pemilu akhir November 2011 lalu (sekitar 40 persen
suara) serta Partai al-Nour, partainya ‘kaum Salafi’ hendak melaksanakan
syariat Islam dalam konstitusi Mesir.
Dua pertanyaan ini saja sudah cukup membuat diskusi menarik. Namun
Ustadz Umar Abdullah masih memberikan kesempatan kepada peserta lainnya
untuk mengajukan pertanyaan. Adalah Ilham Raudhatul Jannah, santriwati
Pesantren Media yang menanyakan hal mendasar namun perlu diketahui, “Apa
sih kegunaan partai dalam negara?” Pertanyaannya sederhana namun jelas
memerlukan jawaban lengkap.
Sementara Junnie Nishfiyanti, Koordinator ProgramVoice of Islam di
MediaIslamNet menyampaikan pernyataan yang bernada meragukan masa depan
Mesir jika melihat fakta bahwa “Partai Kebebasan dan Keadilan tidak mau
menerapkan syariat Islam, jadi sebenarnya tak ada bedanya dengan nasib
negara kita saat ini,” ungkap Junnie sambil melengkapi fakta bahwa
keberadaan partai-partai Islam di Indonesia pun tak mengubah nasib
Indonesia menjadi lebih baik.
Junnie tentu punya alasan yang jelas. Apalagi jika kita melihat fakta berdasarkan catatan Republika pada
8 Desember 2011 lalu bahwa Partai Kebebasan dan Keadilan akhirnya
memenangi Pemilu Mesir. Namun, partainya Ikhwanul Muslimin ini, memilih
moderat dan kompromistis. Itu sebabnya, hasil pemilihan menunjukkan
bahwa para pemilih dari kelompok liberal pun lebih memilih Ikhwanul
Muslimin. Suara diberikan demi mencegah kelompok ultrakonservatif Salafi
mendominasi suara. Dari 9,7 juta suara yang dihitung, Partai Kebebasan
dan Keadilan (FJP) meraup 37 persen, diikuti oleh Partai al-Nour berada
diposisi kedua dengan 24 persen suara. (Republika.co.id/8 Desember 2011)
Anomali partai Islam
Tapi yang menjadi pertanyaan, “Partai al-Nour yang dibentuk Salafi
ketika diterima sebagai partai politik peserta pemilu ternyata ada
anggotanya yang Kristen. Juga ada sekitar 50 persen anggotanya dari
kalangan wanita. Sebetulnya menarik dengan pernyataan pemimpin al-Nour
bahwa satu-satunya aturan yang pantas diterapkan adalah hukum-hukum
Allah. Tapi anehnya kenapa Partai al-Nour mau berkoalisi dengan Partai
Kebebasan dan Keadilan?” tanya Ustadz Umar Abdullah.
Ustadzah Latifah Musa menyampaikan informasi seputar partai-partai
yang ada di Mesir saat ini dan ikut pemilu parlemen pada 28 November
2011, “Kuncinya ada di Ikhwanul Muslimin dengan Partai Kebebasan dan
Keadilan (FJP). Tanpa dukungan yang lain atau tanpa berkoalisi
sebenarnya suara mereka sudah memadai. Cuma masalahnya bagaimana kondisi
Ikhwanul Muslimin sekarang? Sebab, kelihatannya sudah disusupi oleh
orang-orang sekular, nasionalis dan sejenisnya.”
Menanggapi pernyataan Ustadzah Latifah Musa, Ustadz Umar Abdullah
memberikan komentar bahwa sebenarnya dalam sejarahnya, Ikhwanul Muslimin
ketika pertama kali berdiri memang ingin menerapkan syariat Islam dan
mendirikan Khilafah. Tapi kemudian mulai bergeser. Ada dugaan dilemahkan
ideologinya. Ikhwanul Muslimin sendiri sekarang tidaklah sama dengan
Ikhwanul Muslimin zaman Sayyid Quthub. Ikhwanul Muslimin sekarang
seperti PKS di Indonesia. Yakni menerima demokrasi, mengikuti pemilu
dalam bingkai demokrasi, ikut parlemen,” tandasnya.
Diskusi ini memang tidak selalu runut membahas pertanyaan sesuai
urutan pertanyaan yang ditanyakan peserta. Sebab adakalanya langsung
menjawab pertanyaan tertentu jika memang yang terpikir saat itu
jawabannya memang untuk pertanyaan tersebut. Tak masalah, yang penting
semua pertanyaan terjawab dan menghasilkan kesimpulan.
Ustadzah Latifah Musa mencoba menjawab pertanyaan dari Fatimah, yang
juga merupakan puterinya, “Karena Mesir adalah bagian negeri Islam. Jadi
penting membahas masalah mereka. Khusus Mesir, partai Islam sedang
‘laku keras’ didukung. Dibanding negeri lain yang mulai luntur
kepercayaan kepada partai Islam,” jelasnya.
Ustadz Umar Abdullah menambahkan bahwa, “Setiap upaya penegakan
syariat Islam harus didukung. Di mana pun itu. Besar maupun kecil upaya
itu, harus didukung,” terangnya bersemangat.
Dalam penjelasan tambahannya, Ustadz Umar Abdullah menyampaikan juga
bahwa jika ada partai Islam yang berhasil mendirikan institusi negara
Islam, Daulah Khilafah Islamiyah, dan memang itu terbukti benar, maka
seluruh kaum muslimin wajib mentaatinya. Berbaiat kepadanya.
Burhan R Hazami yang sedari awal adem ayem saja akhirnya bertanya,
“Bagaimana dengan ketaatan kepada khalifah sementara saat ini kita di
negeri ini punya pemimpin?” pertanyaan itu ia ajukan kepada Ustadz Umar
Abdullah.
Mendapat pertanyaan demikian dari Burhan, Ustadz Umar Abdullah
menanggapi, “Ketaatan kepada khalifah wajib. Sebagaimana dalam al-Quran
surat an-Nisaa ayat 59: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. Kepada pemimpin saat ini hanya
mengikuti perintah yang sesuai syariat Islam saja. Lain tidak. Jika
memang sudah ada kekhilafahan yang benar, maka tugas kita adalah
berdakwah kepada pemimpin negeri ini dan juga kepada seluruh kaum
muslimin serta berupaya menggabungkan negeri ini dengan negara
khilafah.” Jawaban yang panjang dan detil sehingga membuat Burhan mampu
menyerap informasi tersebut. Setidaknya ditunjukkan dengan anggukana
kepala dan tak melanjutkan pertanyaan.
Menjawab pertanyaan dari Novia, Ustadz Umar Abdullah menyampaikan
bahwa, “Syariat Islam adalah aturan dan ajaran Islam. Syariat Islam
adalah risalah yang diturunkan Allah Swt. melalui malaikat Jibril kepada
Muhammad, Rasulullah saw. Nah, mengapa orang liberal tidak suka dengan
syariat Islam dan apa yang mereka pahami tentang Islam? Ya, orang
liberal memahami bahwa jika syariat Islam diterapkan kebebasan mereka
dalam seks dan kebebasan dalam berpendapat akan dibatasi. Atau bisa
jadi mereka sengaja menghembus-hembuskan informasi sesat supaya
masyarakat takut terhadap pelaksanaan syariat Islam. Namun bisa juga
dengan asumsi yang lain, yakni sebenarnya memang mereka tidak tahu
apa-apa tentang syariat Islam sehingga yang penting menolak,” demikian
penjelasan dari Ustadz Umar Abdullah.
Setelah menjawab pertanyaan dari Fatimah, Novia dan Burhan, kini
giliran menjawab pertanyaan yang diajukan Ilham Raudhatul Jannah. Oya,
sebenarnya Ilham ini santriwati Pesantren Media, maka untuk membedakan
namanya dengan nama laki-laki, biasanya ia dipanggil dengan Neng Ilham.
Menurut Ustadz Umar Abdullah, “Jika melihat ormas-ormas Islam yang
ada saat ini, rata-rata mereka menggunakan ayat 104 dari al-Quran surat
Ali ‘Imran. Memang, ada dua pendapat berkaitan dengan kalimat “min kum”
dalam ayat tersebut. Pertama, min kum di situ artinya sebuah bagian dari
kalangan kaum muslimin. Sementara pendapat yang kedua, “min kum” itu
adalah kaum muslimin itu sendiri. Jadi dalam Islam kegunaan partai
adalah untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran,” jelasnya.
Untuk membedakan antara partai Islam dengan partai umum seperti fakta
bahwa ada partai umum di negeri ini, Ustadzah Latifah Musa menyampaikan
bahwa, “Di negara kita, yang memang menerapkan demokrasi, partai yang
ada akan ikut pemilu. Ujungnya kekuasaan.”
“Betul. Berserikat dan berkumpul memang dijamin dalam konstitusi
negeri ini. Tetapi berserikat dan berkumpul, dalam hal ini mendirikan
partai tujuannya adalah untuk meraih kursi kekuasaan di parlemen. Lalu
membuat undang-undang yang menguntungkan mereka dan pihak tertentu saja.
Lain tidak,” komentar Ustadz Umar merespon jawaban dari Ustadzah
Latifah Musa.
Menjelang diskusi berakhir, Ustadz Umar Abdullah kemudian berkomentar
atas pernyatan Junnie, “Benar. Dulu Indonesia punya partai besar,
Masjoemi (Madjelis Sjoera Moeslimin Indonesia). NU sendiri yang waktu
itu masih bergabung dengan Masjoemi bahkan pernah mengeluarkan Resolusi
Jihad pada 22 Oktober 1945. Tetapi pada tahun 1954, NU berkhianat dengan
keluar dari Masjoemi. Masjoemi terus berjuang meski akhirnya memilih
melalui parlemen. Ki Bagoes Hadi Koesoemo tokoh Muhammadiyah, sangat
marah ketika 7 kata dalam UUD 1945 dihilangkan. Tahun 1959 dikeluarkan
Dekrit Presiden yag menyatakan kembali ke UUD 45. Sejak saat itu,
perjuangan Masjoemi mulai meredup.”
Mengingat hal ini, saya mencoba membuka kembali informasi dalam buku karya Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara yang berjudul Menemukan Sejarah. Berkaitan dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad, NU dengan Statuten
(Anggaran Dasar) 1926, dalam praktik perjuangannya menampilkan diri
sebagai jam’iyah yang sangat tanggap terhadap peristiwa politik nasional
dan luar negeri. Di saat pemerintah RI masih ragu-ragu menentukan
sikapnya terhadap pendudukan kembali Sekutu dan Belanda, NU mengeluarkan
Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) di Surabaya. Resolusi Jihad
ini mempunyai pengaruh besar terhadap keputusan Muktamar Umat Islam di
Yogyakarta, pada 7 November 1945. Pengaruhnya secara fisik diperlihatkan
dengan pembentukan sayap militer seperti Barisan Sabilillah, Hizbullah
dan Mujahiddin. Itu sebabnya, tidak begitu heran jika Muktamar Umat
Islam menyatakan kepada setiap penjajah, bahwa “60 Milyun Kaum Muslimin
Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah. Perang di jalan Allah untuk
menentang tiap-tiap penjajahan” (Kedaulatan Rakyat, 9 November 1945 dalam foto copy di buku Menemukan Sejarah, hlm. 297)
Mencari jalan keluar
Menjelang maghrib diskusi hendak mencapai klimaks. Langit sore di
Laladon Permai tampak indah berwarna khas senja. Pertanyaan yang
kemudian terlontar adalah, “Bagaimana jalan agar syariat Islam bisa
diterapkan? Bagaimana caranya?” tanya Ustadz Umar Abdullah kepada para
peserta diskusi.
Ustadzah Latifah Musa merespon dengan memberikan pernyataan, “Selama
partai Islam mengejar jalur parlemen, atau demokrasi, pasti akan terjadi
penjegalan atau pengebirian perjuangan syariat Islam itu sendiri. Jadi
tidak akan bisa berhasil,” tegasnya.
Ustadz Umar Abdullah mencoba memberikan jawaban bahwa untuk penerapan
syariat Islam dalam bingkai negara ini, harus melalui dua jalan.
Pertama, partai Islam yang berjuang tersebut harus mempunyai dukungan
dari masyarakat secara mayoritas. Ukurannya misalnya bisa mengumpulkan
banyak orang dalam sebuah kegiatan kampanye dakwah. Sebanyak mungkin,
bila perlu jutaan. Kedua, harus ada dukungan militer. Kalo tidak, gagal.
FIS saja di Al-Jazair, meski mendapatkan suara 74 % lebih dalam
pemilu, tapi termyata digagalkan oleh militer. Inilah kekuatan real.
Tugas berat kita memang. MediaIslamNet sendiri baru mencanangkan opini
masyarakat. Semoga saja bisa membangun kesadaran umum akan pentingnya
perjuangan penegakan syariat Islam dalam bingkai Daulah Khilafah
Islamiyah,” panjang lebar ustadz bertubuh subur ini menjelaskan.
Diskusi ini diakhiri dengan pembacaan notulen yang sudah saya tulis
sejak awal diskusi sebagai bahan untuk menuliskan liputan khusus diskusi
aktual pekanan ini. Kesimpulan akhirnya: perjuangan melalui jalur
demokrasi, yakni melalui parlemen tidak akan mencapai keberhasilan
perjuangan penegakan syariat Islam secara maksimal. Bahkan bisa
dikatakan gagal. Itu sebabnya, partai Islam yang hendak berjuang
menegakkan syariat Islam, jangan mengambil jalur yang dibuat oleh
demokrasi. Sebab, demokrasi tak akan mampu mewadahi kekuatan yang akan
membunuh demokrasi itu sendiri. Atau malah bisa jadi, demokrasi akan
menyeret partai Islam peserta pemilu untuk mensterilkan syariat Islam
agar tak terlaksana sebagai hukum yang mengatur kehidupan rakyat.
Bahayakah?
Tentu, jika faktanya demikian kita patut kembali mengevaluasi metode
perjuangan melalui jalur parlemen dalam sistem demokrasi. Sebaliknya,
kita mencoba menggalang kekuatan ummat (di luar parlemen) melalui
sebaran opini agar terbentuk kesadaran kolektif di kalangan masyarakat
akan penting dan wajibnya penegakan syariat Islam. Namun, jika melihat
kenyataan Mesir saat ini, pesimisme kembali menyergap benak kaum
muslimin dan harus menyiapkan langkah perjuangan berikutnya. Kita mulai
lagi dari awal. Meski menyakitkan, tetapi kita harus berani secara terus
menerus memperjuangkannya dan jadikan pengalaman buruk sebagai bahan
evaluasi untuk menyiapkan strategi jitu di kemudian hari. [OS]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar