Dipublikasikan pada Senin, 5 Desember 2011 | 7:29
Diskusi
pekanan edisi hari Rabu, 30 November 2011 sedikit berbeda, dan kurang
maksimal. Selain peserta diskusi yang tidak tetap setiap digelar
diskusi, juga saat itu hujan deras mengguyur Bogor. Saya yang datang
bersama istri dan anak-anak ke Rumah Media, tempat biasa digelar
diskusi, terpaksa tak langsung masuk karena mendapat SMS bahwa acara
diskusi pada hari itu dilangsungkan di MediaIslamNet. Karena sudah
kadung basah-basahan, akhirnya kami menerebos derasnya hujan menuju
MediaIslamNet. Eh, di sana pun acara diskusi belum digelar dan Ustadz
Umar Abdullah malah memberi informasi bahwa diskusi akan dihentikan
sementara untuk menshalatkan jenazah tetangga sebelah rumah beliau.
“Tapi, nanti saat ada pengumuman untuk menshalatkan jenazah di masjid,”
jelasnya.
Walhasil, dengan suasana yang kurang mendukung untuk mengeksplorasi
kajian, maka forum diskusi tak langsung masuk ke inti persoalan. Malah
ngobrol seputar kematian segala. Meski tidak berlangsung lama, akhirnya
diskusi baru digelar sekitar pukul 16.30-an.
Seperti biasa, Ustadz Umar memberikan prolog seputar tema yang akan
dibahas. “Mengapa tema ini dibahas dan diberi judul seperti ini, karena
tak biasanya jembatan rubuh dengan cara seperti itu. Umumnya jembatan
runtuh jika ada banjir bandang, angin puting beliung, gempa bumi dan
sejenisnya sebagai bagian dari bencana alam. Ternyata Jembatan Mahakam
II atau Jembatan Kutai Kartanegara ini runtuh saat sedang dilakukan
renovasi. Jelas ini ada unsur kelalaian,” Ustadz Umar menjelaskan alasan
mengapa peristiwa runtuhnya Jembatan Kukar menjadi topik diskusi
pekanan MediaIslamNet dan Pesantren Media.
Prolog singkat itu diakhiri dengan mengajuk pertanyaan kepada peserta
dikusi seperti biasanya. Taqiyuddin, peserta dari kalangan anak-anak
mengajukan pertanyaan, “Kenapa baut jembatan itu pada lepas dan
bagaimana supaya tidak runtuh lagi jembatan tersebut?” Disusul dengan
pertanyaan nyaris serupa yang diajukan oleh Abdullah, “Kenapa jembatan
itu runtuh?”
Novia Handayani, santriwati Pesantren Media juga tak mau kalah dengan
Taqi dan Abdullah, ia menanyakan, “Mengapa SBY tidak mau membangun
jembatan tersebut di tempat yang sama?”. Neng Ilham, teman satu kamar
Novia di Pesantren Media memberikan pertanyaan, “Siapa yang bertanggung
jawab atas runtuhnya jembatan itu? Oya, dari mana tahu bahwa jembatan
itu harus bertahan minimal 40 tahun?”
Pertanyaan Novia dan Neng Ilham dilengkapi oleh Farid, santri ikhwan
Pesantren Media, “Langkah apa saja agar tidak terulang kejadian ini?”
katanya sambil memasang mimik muka heran.
Kini giliran jawabannya. Menurut Ustadz Umar Abdullah, “Secara akidah
memang itu takdir. Secara syariat, ada sebab-sebab yang membuatnya
runtuh. Misalnya klem-klem (penjepit) yang renggang, putus tali
penyangganya, bahannya jelek, perawatan dan lain sebagainya.”
Senada dengan pernyataan Ustadz Umar Abdullah, Ustadzah Latifah Musa
menyampaikan bahwa, “Dalam kasus runtuhnya jembatan ini yang tersisa
adalah alasan selain bencana alam,” tegasnya untuk menunjukkan bahwa
runtuhnya jembatan tersebut lebih disebabkan oleh kelalaian manusia.
Ustadz Umar Abdullah menambahkan penjelasannya, “Jembatan itu sedang direnovasi. Seharusnya tidak diperbolehkan lewat jembatan”
Ya, jika melihat faktanya memang jembatan Kukar bermasalah.
Diresmikan tahun 2001 ternyata runtuh di tahun 2011. Jembatan tersebut
“mati muda”. Padahal, jembatan dengan panjang lebih dari 700 meter yang
membentang di atas Sungai Mahakam (menghubungkan Tenggarong dengan
Samarinda) didesain dengan model jembatan gantung seharunya memiliki
ketahanan yang lebih dari sepuluh tahun. Atau setidaknya dirancang
hingga berdiri kokoh sekitar 40 tahun. Tentu saja untuk bisa
menghasilkan kokohnya jembatan, dengan kemampuan manusia yang bisa
dilakukan adalah dengan menyiapkan bahan yang berkualitas dan yang
jangan dilupakan adalah perawatan.
Dalam hal perawatan, Mas Deddy Arif Fasihin, yang kebetulan hadir
meski telat memiliki pendapat, ”Masalah utamanya tidak ada badan yang
berwenang untuk merawat jembatannya. Tidak ada juknis. Untuk kepentingan
publik itu jangan main-main. Serius dari mulai pembangunan sampai
perawatannya.”
Ustadzah Latifah Musa menambahkan bahwa, “Pembangunan sebenarnya ok.
Maksudnya sudah dirancang dan disiapkan dengan baik. Tetapi perawatannya
yang lebih bermasalah”
Menjawab pertanyaan dari Novia, Ustadz Umar Abdullah menjelaskan,
“Ya, mungkin karena ribet membangun dari tempat yang sudah rusak. Tapi
untuk lebih jelasnya, silakan saja tanya sama Pak SBY hehehe,”
selorohnya sambil diiringi tawa.
Atas pertanyaan Neng Ilham, Ustadz Umar Abdullah memberikan
tanggapan, “Ya, tahu dari mana minimal 40 tahun? Ya, dalam sebuah proyek
pasti ada hitungannya. Apalagi itu termasuk proyek besar yang tentu
saja membutuhkan biaya besar. Logikany, karena biaya besar maka harus
awet. Jangan lupa juga ada perawatan rutin yang harus dianggarkan
dananya dengan benar. Jika melihat besarnya tanggung jawab, tentu saja
tanggung jawab pemerintah atas kejadian ini yang lebih tepat memikulnya”
Menanggapi pernyataan Ustadz Umar Abdullah, Ustadzah Latifah Musa
menekankan, “Harus ada kesadaran masyarakat untuk saling menjaga
jembatan dan fasilitas umum lainnya. Jangan malah dirusak”
Ya, perawatan memang sangat diperlukan. Sebab, bagaimana pun kokohnya
sebuah produk, dalam hal ini adalah jembatan Kukar, tanpa perawatan
yang benar akan sulit bisa bertahan lama. Memang, idealnya sudah harus
disiapkan sejak merencanakan proyek tersebut. Bahan apa saja yang
digunakan, kualitasnya seperti apa, siapa pelaksana proyeknya, bagaimana
dengan kondisi geografisnya, skala kepentingan dan kebutuhannya, dan
siapa saja yang bertanggung jawab secara teknis untuk pemeliharaan dan
lain sebagainya karena berkaitan dengan masalah kepentingan dan
kebutuhan publik.
Tapi, kami meragukan pemerintah akan serius untuk menangani masalah
ini. Tanpa mengerdilkan skala kerusakannya dan belasan korban jiwa dalam
kasus ini, sepertinya sulit mengharapkan pemerintah untuk serius
menanggapi. Dalam kasus Lapindo saja, sudah bertahun-tahun warga Porong
dibenam lumpur belum nampak campur tangan pemerintah yang signifikan
untuk menyelesaikannya. Belum lagi masalah lainnya jika mau dirunut
sangat banyak. Tetapi miskin tanggung jawab dari pemerintah untuk
menyelesaikannya. Masalah yang mungkin sangat dekat dengan kehidupan
kita saat ini seperti jalan yang berlubang atau yang rusak parah. Saya,
sebagai biker sering berjalan ke berbagai daerah di kawasan
Jakarta dan Bogor saja sangat banyak jalan berlubang yang berpotensi
membahayakan keselamatan pengendara. Parahnya, ada banyak jalan di
beberapa tempat yang sepertinya tak pernah diperbaiki. Pemeritah sangat
abai. Menyedihkan.
Diskusi yang meski kurang maksimal dilaksanakan karena beberapa
alasan yang saya sebutkan di atas (termasuk laporan liputannya yang
sangat telat dituliskan), namun alhamdulillah bisa memberikan
kesimpulan. Ya, kesimpulannya memang pemerintah abai dalam masalah
kepentingan publik. Memang tidak semua kepentingan publik diabaikan,
tetapi lebih banyak yang diabaikan. Bukan soal jembatan saja, tetapi
masalah transportasi, kesediaan jalan darat yang bagus dan memadai untuk
keselamatan pengendara, juga semua hal hal yang berkaitan dengan
kemaslahatan rakyat. Ini harus segera dituntaskan. Semoga pemerintah
tidak tuli dengan banyaknya kritikan dan masukan dari rakyatnya sendiri.
Diskusi ini diakhiri dengan pernyataan Ustadz Umar Abdullah yang
menyampaikan bahwa di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra
kesejahteraan rakyat sangat diperhatikan. Pernah Khalifah Umar bin
Khattab ra mengatakan bahwa jika ada jalan di Irak yang berlubang
sehingga membuat unta terperosok, maka dirinya merasa khawatir akan
dimintai pertanggungan jawab di akhirat kelak oleh Allah Swt. Lalu
bagaimana dengan kita dan pemerintah yang abai kepada rakyatnya sendiri
yang memang manusia (bukan seperti yang dikhawatirkan oleh Khalifah Umar
bin Khattab ra bahwa ada unta yang terperosok karena jalan berlubang di
Irak—kepada hewan saja beliau perhatian, apalagi kepada manusia. Kita
harus bercermin kepada cara Islam dalam menuntaskan persoalan ini.
Sebagaimana pernah dicontohkan—dalam kasus kepentingan umum ini—salah
satunya oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Bisakah? Insya Allah bisa
asal pemerintah mau menerapkan syariat Islam yang tegak di bawah naungan
Khilafah Islamiyah. [OS]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar