Dipublikasikan pada Jumat, 18 November 2011 | 19:09
Oleh: Lathifah Musa
Ada yang menarik dalam sesi mengajar saya di kelas satu sebuah SMP (Islamic Boarding School)
Bogor. Pelajaran Bahasa Indonesia selalu dibuka dengan pertanyaan: Apa
berita menarik minggu ini? Maklum, mengikuti berita nasional menjadi
salah satu tugas rutin mingguan.
Karena kebetulan saya sedang mengajar kelas ikhwan, hampir
semua menjawab: Indonesia Menang Lawan Thailand! Selanjutnya kelas pun
riuh dengan pembahasan kemenangan Timnas dalam pertandingan-pertandingan
sebelumnya melawan Singapura dan Kamboja.
Kemudian saya bertanya, “Apa kalian tidak tahu bahwa dalam
minggu ini Kepala Negara kita berpidato dalam sebuah Pertemuan Tingkat
Tinggi Negara-negara se-Asia Pasifik?” Saya sedikit menyinggung tentang
Pidato SBY dalam Forum Bisnis APEC tanggal 15 November 2011. “Tahukah
Antum semua, bahwa Indonesia adalah negara yang sanggup bertahan dari
krisis global?”
Di kelas satu ini, mereka semua sudah tahu bahwa saat ini
AS sedang dalam krisis utang yang memalukan dan Uni Eropa sedang
habis-habisan dihajar krisis yang sama. Tentulah dipandang membanggakan
oleh pemerintah, ketika pengusaha-pengusaha multinasional menyimak
dengan tekun penjelasan SBY tentang resep keluar dari situasi krisis ala
Indonesia.
Tiba-tiba salah seorang murid saya yang berkacamata
mengacungkan tangannya. “Rakyat Indonesia tahan krisis, karena
sehari-harinya sudah biasa miskin, Bu!”, katanya. “Jadi tidak ada
bedanya, krisis atau tidak krisis. Karena sehari-harinya sudah biasa
krisis.” Sebenarnya ia bermaksud membantah penjelasan saya tentang
Indonesia yang tidak krisis.
“Makan dengan kerupuk dan kecap juga sudah nikmat.”
Temannya yang di sebelahnya nyeletuk. Saya mengerutkan kening, kemudian
mempertanyakan, benarkah mereka biasa makan hanya dengan kerupuk dan
kecap. Maklum saja, namanya juga SMP Boarding. Tentu tidak ada menu yang
hanya dengan kerupuk dan kecap.
Murid yang bersangkutan pun senyum-senyum. Tapi tampaknya
ia jujur, karena selanjutnya ia bicara tentang nikmatnya makan dengan
kerupuk terung (pabriknya ada di dekat sekolah mereka) dan kecap dengan
teman sebelahnya yang mengangguk-angguk. Membayangkan kerupuk terung
pabrik dekat sekolah yang disantap dengan kecap memang nikmat, khususnya
di saat-saat jam lapar seperti siang itu.
Kalau sudah begitu, papan tulis pun terpaksa saya
ketok-ketok untuk menghentikan perbincangan tentang makanan murah yang
nikmat, resep rakyat bertahan dalam situasi krisis. Breaking News
rutin lima belas menit ditutup. Pelajaran berlanjut dengan sesi
mendengar. Siswa-siswa saya minta diam sejenak untuk melatih
pendengarannya mendengar suara selain suaranya sendiri. Maklum
kebanyakan manusia sekarang lebih suka mendengar suaranya sendiri.
Kesempatan hening membuat saya berpikir komentar-komentar
siswa-siswa saya tadi. Jadi siapa bilang kita kaya dan bebas krisis.
Kenyataannya kemiskinan masih terasa dan situasi krisis telah bersahabat
dengan kehidupan rakyat sejak lama. Sebenarnya Presiden tak layak
bicara tentang kehebatan-kehebatan timnya. Ketahanan terhadap krisis
yang sesungguhnya itu ada pada seluruh rakyat. Mayoritas rakyat
Indonesia yang miskin namun bermental baja dan berhati pualam.
Presiden seharusnya bicara di hadapan pemimpin-pemimpin
negara se-Asia Pasifik tentang kehebatan rakyat Indonesia yang antara
lain:
(1) Nrimo. Menyukuri hidup apa adanya.
Bila harga beras naik tak terjangkau, maka mereka mengurangi jatah
makan, mengganti menu dengan singkong atau ubi yang lebih murah. Bahkan
ada pula yang telah menyumpal perutnya dengan nasi aking. Lebih tragis
lagi, di salah satu pelosok negeri ini, ada rakyat yang sanggup memakan
biji buah asam. Bukan karena suka, tetapi karena memang sudah tak ada
lagi yang dimakan.
(2) Mayoritas masyarakat Indonesia yang miskin
ini biasa hemat. Nasi dengan lauk kerupuk, nasi dengan lauk sayur dan
nasi dengan lauk kecap, juga sudah biasa. Pedagang yang juga rakyat
menyiasati dengan membuat kerupuk dan kecap yang rasanya lebih nikmat.
(3) Untuk menyiasati kenaikan harga-harga,
rakyat bisa berkreativitas. Ketika harga daging ayam atau ikan
melambung, muncullah menu telor penyét. Ketika harga telor pun melambung, muncullah menu tempe penyét. Harga beras mahal, menjamurlah sega kucing dengan lauk yang hanya sejumput-sejumput. Lidah masih bisa bergoyang walaupun anggaran makan terbatas.
(4) Seharusnya pemerintah berterima kasih karena
rakyat kecil tak kenal pasar saham, tak kenal investasi dalam bentuk
dollar, tak punya utang di bank. Tahun 2008, penipuan ala Madoff yang
membangkrutkan dan memukul perekonomian AS tidak terjadi di sini. Di
sini hanya ada Century yang sampai kini masih menyimpan misteri.
(5) Rakyat kecil terbiasa menahan lapar.
Mayoritas rakyat yang beragama Islam terbiasa puasa, mulai dari puasa
Ramadhan, puasa Senin Kamis, hingga puasa Daud (berselang seling hari).
Ada rekan saya yang sengaja berpuasa Daud, karena memang benar-benar
sedang kekurangan.
(6) Rakyat kecil mudah bersyukur dan bersedekah.
Bagi kaum muslimin, Rasulullah Saw mengajarkan makanan untuk berdua
bisa dimakan bertiga. Makanan bertiga bisa dimakan bersama-sama. Rakyat
kecil tak pernah membiarkan rakyat kecil lainnya kelaparan. Sedekah
membuat kehidupan yang secara hitungan statistik kurang menjadi cukup
dan barakah.
(7) Rakyat kecil banyak bersabar, walau
kebijakan pemerintah banyak yang tak bijak sehingga tak layak lagi
disebut kebijakan. Kehidupan kian sulit walaupun kata pemerintah ekonomi
terus tumbuh. Kenyataannya subsidi banyak dihapus, bantuan banyak
dikorup, kekayaan alam milik bangsa dirampok negara lain. Penguasa lebih
suka melayani pemimpin penjajah daripada membuat rakyat lebih
sejahtera.
Inilah sebenarnya potensi besar bangsa ini. Semua ini terpancar dari karakter keIslaman yang masih tersisa.
Sayangnya kita semua masih bodoh. Sekiranya kita menggunakan seluruh
karakter keIslaman kita, seperti menjalankan perekonomian yang Islami,
menghapuskan riba dan segala bentuk perdagangan yang fiktif,
memberantasan korupsi yang adil dan tak tebang pilih, dan bagaimana
menjadi pemimpin-pemimpin muslim dengan semangat jihad
membela kedaulatan bangsa ini dalam rangka menyelamatkan aset-aset
negeri yang terampas dan harga diri yang terinjak-injak. Dengan
menampilkan seluruh karakter keIslaman mayoritas kita, niscaya tak sulit
untuk meretas jalan menuju Indonesia Negara Adikuasa.
Bagi rakyat kecil, statemen-statemen tentang keberhasilan
Indonesia dalam Forum Tingkat Tinggi itu menjadi begitu kering, kosong
dan hampa. Seperti Stand Up Commedy yang bahkan untuk tersenyum getir saja sudah tak bisa. Mengenaskan![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar